Rabu, 29 Mei 2013

Seni Musik Madura


A. Sejarah

Saronen merupakan alat musik yang berasal dari Timur Tengah. Di daerah asalnya dikenal dengan berbagai nama, seperti surnai, sirnai, sarune, dan shahnai. Saronen juga dianggap sebagai kesenian yang berasal dari desa Sendang, kecamatan Pragaan. Saronen berasal dari kata Senninan, (hari Senin). Kala itu, kyai Khatib Sendang (cicit Sunan Kudus), menciptakan orkes ini sebagai media dakwah untuk penyebaran agama Islam. Setiap hari pasaran yang jatuh pada hari Senin, Kyai Khatib menggunakannya dalam upaya menarik massa. Pertama kali yang dilakukan oleh Kyai yang inovatif ini, acara diawali dengan munculnya dua badut. Kedua badut ini, menari dan menyanyi serta melawak. Adapun materi lawakan banyak berisi sindiran dan kritikan tentang situasi dan kondisi serta kebijakan pemerintahan pada masa itu. Untuk meramaikan dan menambah semarak adegan-adegan yang dibawakan kedua badut tersebut, maka acara tersebut diselingi musik yang mampu membangun suasana menjadi riang gembira. Setelah massa terkumpul, barulah kyai Khatib Sendang memulai dakwah. Sehingga pada waktu itu banyak sekali yang tertarik, kemudian menyatakan diri untuk mengikuti ajaran agama Islam. Tentu saja, kyai Khatib dalam menciptakan instrumen musik Saronen menyesuaikan dengan karakter masyarakat Madura. Suku Madura merupakan sosok yang terkenal mempunyai watak keras, polos, terbuka dan hangat. Sehingga, jenis musik riang dan ber-irama mars menjadi pilihan yang paling pas. Dan dalam perkembangannya, musik Saronen menjadi musik yang sangat digemari dan merakyat serta menjadi trade mark musik Madura.
Tok-tok dimainkan anak-anak untuk membangunkan warga untuk makan sahur. Mereka menabuh tok-tok sambil bernyanyi lagu-lagu Madura berkeliling kampung.
Gamelan Madura diadopsi dari Gamelan Jawa, dan merupakan karya ciptaan bangsawan keraton yang memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsawan Jawa. Hubungan keraton Sumenep (dan juga keraton Bangkalan) dengan keraton Solo (terutama jaman Mataram) sangat memungkinkan masuknya jenis kesenian seperti: gamelan, tembang macapatan, wayang topeng, bahkan hingga tayuban. Namun ketika keraton “kosong” (kaum bangsawan menyingkir ke desa-desa akibat politik islamisasi yang mengakibatkan runtuhnya pengaruh bangsawan di mata rakyat), maka kesenian itu justru lebih berkembang di desa-desa meskipun telah mengalami berbagai transformasi.
Samroh atau qasidahan diperkirakan masuk Madura pada tahun 1950-an.
Ul daul dug-dug awalnya berasal dari musik patrol yang biasa dimainkan untuk membangunkan orang sahur pada bulan puasa.

B. Bentuk Kesenian
1)      Saronen
Musik instrumentalia Saronen terdiri dari 9 alat musik dengan nilai filosofi Islam yang sangat kental. Karena ke-sembilan alat musik tersebut adalah pengejawantahan ayat pendek yang menjadi pembuka Al Qur’anul Karim, yaitu Bismillahhirrohmanirrohim. Adapun ke-9 alat musik tersebut terdiri dari ; 1 saronen, 1 gong besar, 1 kempul, 1 kenong besar, 1 kenong tengahan, 1 kenong kecil, 1 korca, 1 gendang besar dan 1 gendang dik gudik (kecil).
Kesembilan alat musik tersebut menjadi perpaduan yang harmonis, sedangkan yang menjadi ruh dari orkes ini adalah alat musik Saronen yang berbentuk kerucut.
Dalam perkembangannya, alat musik yang terdiri dari 9 unsur tersebut mengalami penambahan sehingga menjadi 12 alat musik. Yaitu dengan penambahan 1 alat musik saronen serta 1 alat musik kempul. Begitu pula dengan jumlah penabuh/pemusik. Orkes Saronen yang tetap memakai komposisi (versi) lama, menggunakan alat musik sebanyak 9 dengan penabuh sebanyak 9 personel. Masing-masing membawa satu alat musik, sedangkan gong dan kempul dipikul oleh dua penabuh, yang secara bergantian memukul alat musik tersebut. Sedangkan yang menggunakan komposisi (versi) baru alat musik berjumlah 12, serta penabuh/pemusik juga berjumlah 12 orang.
Irama yang dihasilkan dari instrumen musik Saronen dipakai sebagai pengiring kegiatan Kerapan Sapi, atraksi Sapi Sono’, berbagai upacara ritual di makan keramat, acara pesta perkawinan ataupun dalam event-event kesenian. Selain itu orkes musik Saronen dapat berdiri sendiri dengan menyajikan berbagai bentuk tontonan yang menarik dan atraktif. Yaitu dengan cara memodifikasi berbagai unsur gerak, baik seni tari, seni hadrah maupun seni bela diri silat dalam kemasan gerak tari sesuai irama musik yang dimainkan. Instrumen musik ini sangat kompleks dalam penggunaannya. Katakanlah musik serba guna yang mampu menghadirkan berbagai nuansa sesuai dengan kepentingan. Begitu pula dengan lagu-lagu yang dibawakan, musik. Saronen mampu mengiringi lagu-lagu dari berbagai aliran musik, baik itu keroncong, dangdut, pop, rock and rool maupun lagu-lagu daerah lainnya. Lagu-lagu keroncong yang ber-irama mendayu-dayu misalnya, mampu digubah dalam irama mars yang dinamis.


Dalam setiap atraksi, orkes Saronen ini mampu membangun serta menciptakan suasana yang hangat dan gembira. Ketika berjalan mengikuti iring-iringan pasangan sapi, baik Kerapan Sapi atau Sapi Sono’, upacara-upacara ritual, mengiringi atraksi kuda Kenca’ ataupun arak-arakan para pemusik ini berjalan dengan langkah-langkah pendek sambil berlenggak-lenggok mengikuti irama, gerakan-gerakan itu disesuaikan dengan irama lagu yang dibawakan.
Alat musik Saronen biasanya dipakai sebagai pembuka komposisi dengan permainan solo. Suaranya yang sedikit sengau dan demikian keras, meloncat-loncat, melengking-lengking dan meliuk-liuk dalam irama yang menghentak. Baru setelah itu diikuti oleh pukulan alat musik lainnya, pukulan gendang, kenong, ketukan kerca dan simbal. Perpaduan alat-alat musik tersebut menghasilkan keselarasan irama pada seluruh orkes. Setiap komposisi musik yang dimainkan, di awali dalam tempo lamban yang berubah menjadi tempo medium, lalu semakin cepat, atau sebaliknya, permainan diawali langsung dalam tempo medium langsung berubah menjadi cepat dan berakhir dengan tempo yang semakin cepat untuk seluruh orkes. Permainan yang sangat variatif dan penuh improvisasi dari para pemain, serta teriakan yang dilontarkan para pemain menambah kegairahan pada irama yang sudah melengking dan meloncat-loncat. Dalam setiap permainan, setiap komposisi lagu berakhir seketika, dalam arti semua instrumen berhenti pada saat yang sama.
Seperti halnya instrumen musik lain, Saronen dapat dimainkan sesuai dengan jenis irama yang diinginkan. Walaupun sangat dominan memainkan jenis irama mars, dalam bahasa Madura irama sarka’, Saronen ini mampu menghasilkan jenis irama lainnya, yaitu irama lorongan (irama sedang). Jenis irama ini terdiri dari dua, yaitu irama sedang “lorongan jhalan” dan irama slow ‘lorongan toju’. Masing-masing irama tersebut dimainkan di berbagai kegiatan kesenian dengan acara serta suasana yang berbeda.
Untuk irama sarka’, biasanya dimainkan dalam suasana riang dan permainan musik cepat dan dinamis. Tujuannya adalah memberikan semangat dan suasana hangat. Adapun semua lagu dapat digubah dalam irama sarka’. Sementara itu, untuk jenis irama lorongan, baik lorongan jhalan (sedang) atau lorongan toju’ (slow), lagu-lagu yang dimainkan biasanya berasal dari berbagai lagu gending karawitan.
Ketika mengiringi kerapan sapi menuju lapangan untuk berlaga, irama sarka’ ini dimainkan untuk memberikan dorongan semangat, baik kepada sapi atau pun pemilik serta para pengiringnya. Begitu pula ketika orkes Saronen mengiringi sepasang pengantin, irama ini dimainkan sampai sepasang pengantin itu mencapai pintu gerbang. Musik berirama sarka’ ini, mampu menciptakan suasana hangat dan kegembiraan bagi penonton.
Sedangkan irama lorongan jhalan (irama sedang), biasanya dimainkan pada saat dalam perjalanan menuju lokasi. Baik ketika sedang mengiringi sapi kerapan ataupun atraksi sapi sono’. Selain itu, irama ini dimainkan ketika mengiringi atraksi kuda kenca’ atau pun di berbagai acara ritual yang berkaitan dengan prosesi kehidupan manusia. Adapun lagu-lagu yang dimainkan berasal dari lagu-lagu gending karawitan, seperti gending Nong-Nong, Manyar Sebuh, Lan-jalan ataupun Bronto Sewu.
Irama lorongan toju’, biasanya memainkan lagu-lagu gending yang berirama lembut (slow). Jenis irama ini dipakai untuk mengungkapkan luapan perasaan yang melankonis, rindu dendam, suasana sedih ataupun perasaan bahagia. Irama lorongan toju’ biasa dimainkan ketika mengiringi pengantin keluar dari pintu gerbang menuju pintu pelaminan. Adapun gending-gending yang dimainkan adalah alunan gending Angling, Rarari, Puspawarna, Kinanti, Gung-Gung dan lainnya.
Dalam setiap penampilan agar semakin memikat, biasanya para pemain menggunakan seragam yang sama. Untuk acara-acara ritual, para pemain biasanya memakai odheng Madura dan bersarung, ada juga yang mengenakan celana dan baju hitam longgar khas petani Madura serta berkaos dengan motif garis-garis panjang berwarna merah putih. Namun di kalangan kaum muda biasanya mereka tampil lebih modern, dengan mengenakan pakaian warna-warna terang dan mencolok serta memakai rompi yang dihiasi oleh rumbai-rumbai benang emas. Penampilan mereka semakin keren dengan memakai kaca mata hitam serta topi lakan.
Khusus musik Saronen, kaum muda (yang tinggal di pedesaan) tidak merasa malu ketika menggeluti musik ini. Karena jenis irama yang dimainkan dapat disesuaikan dengan perkembangan musik yang sedang ngetren. Disamping itu musik etnik ini mampu dimainkan, dimodifikasi dan diimprovisasi ke berbagai aliran musik. Sehingga irama yang dihasilkan memenuhi selera masyarakat baik yang menyukai jenis musik dangdut, pop, keroncong, karawitan/gendingan/tembang ataupun aliran musik kontemporer.

2)      Ul Daul Dug Dug
Kesenian Ul daul dug dug berkembang di daerah Sampang. Ul daul dug dug merupakan perpaduan dari saronen , gendang, kesrek (kercah) , dan dug-dug (berbentuk tong). Seperangkat alat tersebut diletakkan dan diangkut dengan menggunakan alat pengangkut (gerobak). Gerobak pengangkut dibentuk dan dihias dengan diberi ornamen (hiasan) yang menarik dan dibentuk sedemikian rupa, ada yang berbentuk kereta kencana, atau ornamen Buta Kala. Dalam perkembangannya, alat musik tersebut dipadukan dengan alat musik modern namun tetap menjaga kekhasannya.

3)      Ghul-ghul
Nama Ghul-ghul berasal dari kata gulonggulen yang berarti benjolan yang ada di punggung (punuk) sapi. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ghul-ghul diambil dari nama alat musik yang berbentuk gendang. Gendang yang dipakai dalam kesenian ini memiliki ciri khas berbentuk menggelembung besar di bagian tengah. Gendang besar terbuat dari kayu kelapa yang pada bagian tengahnya diberi kawat berbentuk spiral. Sedangkan untuk gendang sedang terbuat dari kayu nangka serta alat pukul berbentuk perahu kecil yang dinamakan tul-tul.
Kesenian musik Ghul-ghul dimainkan oleh minimal 10 pemain. Dengan tambahan satu peniup saronen, pemukul gagambhang (gamelan), peniup seruling, kerca, serta peking. Jadi, komposisi alat yang dimainkan dalam satu grup terdiri dari 3 tul-tul (gendang sedang). Satu gendang besar, gendang kecil, gong, seruling, kerca, saronen, gagambhang (gamelan), serta alat peking. Iringan musik ini dipakai sebagai sarana hiburan bagi organisasi atau perkumpulan “dhara gettak.”

4)      Samroh atau Qasidah
Samroh atau Qasidah biasanya muncul dalam event-event perayaan maulid, perayaan hari nasional, maupun acara arisan ibu-ibu. Orkes ini biasanya dimainkan oleh kaum perempuan. Seperti halnya gambus, orkes ini masih kental dengan nuansa barat hal ini ditandai dengan masih melibatkannya penggunaan instrumen barat seperti gitar, bas elektrik, keyboard, drum set, biola, dan lain sebagainya. Meskipun hampir mirip dengan gambus, namun samroh atau qasidah sedikit berbeda, bedanya eksistensi samroh atau qasidah tidak eksklusif, sebab indikasinya banyak kelompok samroh yang lahir di desa-desa dan umumnya dimainkan dan diorganisasikan oleh kaum perempuan khususnya ibu-ibu.

5)      Terbang Hadrah
Musik paling populer di kalangan masyarakat “oreng alem” (istilah untuk mengidentifikasi orang yang taat beragama adalah terbang hadrah. Oreng alem yang dominan di Madura seakan memberi dukungan kuat terhadap eksistensi jenis musik ini. Awalnya, terbang hadrah menjadi simbol musik pesantren, kemudian berkembang menjadi musik milik komunitas yang jauh lebih luas. Bermunculan ratusan kelompok-kelompok hadrah yang selalu memenuhi event-event perayaan keagamaan, arisan desa maupun komunitas kecil sekalipun hingga event yang disponsori pemerintah (festival hadrah). Tingkat kompetisi yang sangat tinggi ini memang cenderung terjadi pengembangan yang luar biasa. Bahkan aspeknya hingga urusan panggung yang disetting seperti bangunan masjid, disertai pemasangan lampu-lampu beraneka warna dan pelepasan lampion. Performa pementasan dibuat sedemikian megah dan gemerlap.
Hal yang biasa terjadi di banyak tempat, jenis musik ini sering ditarikan dalam atmosfir koreografi ruddhat ( baca: rodat). Dasar musikalnya tersusun dari kombinasi ritem lima instrument terbang yang sesungguhnya hanya terbagi dalam tiga seksi polar ritem, antara lain:

  • Korbhian, artinya: induk. Pola korbhian menjadi dasar pembentukan “kalimat ritme” yang biasanya dimainkan oleh terbang ukuran besar (dimainkan dengan dua pemain terbang).
  • Budu’an, artinya: anak. Pola ritemnya merupakan sisipan sederhana dari pola utamanya. Dimainkan oleh dua pemain terbang dengan warna suara lebih ringan.
  • Peca’an, artinya pemisah. Pola ritem inilah yang mampu menghidupkan kesatuan interlocking musik ini. Biasanya, tingkat kecermelangan variasi ritem dapat disoroti dari lini ini.

Musik terbang hadrah semakin bergairah ketika mereka mulai memasukkan instrumen jidor (bedug atau bass drum) yang sangat memprovokasi kesan ritem secara keseluruhan. Apalagi dalam sebuah pertunjukan, jidor tidak hanya ditabuh biasa, melainkan ditabuh dengan cara digendong sambil melakukan atraksi yang memukau menyatu dengan kelompok penari ruddhat.
Setiap pementasan, mereka tetap memegang model ritme standart, yaitu: mateno’, jus, yahum, pinjang, jus pinjang (dua yang terakhir jarang dilakukan). Pola-pola ritem tersebut sama sekali tidak mempengaruhi nyanyian yang dibawakan para nasyid. Tidak seperti halnya musik gambus, kesenian hadrah ini tidak berhubungan lagi dengan masyarakat Arab di Sumenep, bahkan citra musiknya sekalipun.

6)      Gambus
Gambus merupakan orkes yang berasal dari Arab. Orkestra musik maupun instrumennya tidak banyak berubah dari aslinya. Gambus cukup terpelihara dalam komunitas Arab yang mana komunitas ini masih relatif banyak di Sumenep. Meskipun masyarakat Arab yang tinggal di Sumenep hanya terbatas, namun secara signifikan genetik musik ini sangat mempengaruhi terhadap kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Sumenep. Hal ini dilihat dari komunitas pesantren, orang alim yang fanatik, dan islamisasi yang ditanamkan sedemikian kuat. Dalam pemakaian Bahasa Arab dalam musik gambus seakan menguasai citra islami itu sendiri, maka wajar jika musik gambus termasuk dalam musik religius sehingga memiliki nilai prestisius tersendiri. Eksistensi musik gambus terhitung stabil dan terpelihara. Gambus termasuk kelompok orkes eksklusif, tidak hanya pada persoalan alat, musikalitas, maupun bahasa, namun juga ditandai dengan jarang ditemukannya kelompok gambus di pedesaan. Kebanyakan orang-orang desa maupun kota sering mengundang kelompok gambus dari Kota Sumenep untuk acara rapat desa, arisan, dan acara-acara mingguan komunitas kecil yang memang khusus untuk kaum lelaki.

7)      Alalabang
Alalabang adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisi di Kabupaten Sumenep yang memadukan antara seni macapat, wayang, dan topeng dhalang. Alalabang (bahasa Madura) berasal dari kata labang yang artinya pintu. Alalabang maksudnya datang dari pintu ke pintu. Jenis kesenian yang menyajikan sastra lisan dari satu rumah ke rumah yang lain. Bentuk keseniannya bermacam-macam ada yang menyanyi tanpa iring-iringan musik, ada juga melantunkan syair-syair agama dengan pukulan 3 buah gendhang rebana, dan ada berupa rombongan anak-anak kecil, 2 anak di depan berpakaian pengantin sedang yang lainnya bertindak sebagai penyanyi cilik. Masing-masing wilayah mempunyai bentuk alalabang yang berbeda. Lebih-lebih rombongan alalabang, akan banyak menyedot penonton, ketika para rombongan itu membawakan sebuah kesenian topeng dhalang.
Pada musim panen kesenian ini akan ramai mendapat undangan untuk unjuk kebolehannya, karena saat itu masyarakat pedesaan bersuka ria atas nikmat yang dikarunia Tuhan. Biasanya jauh sebelum kesenian alalabang ini didatangkan, masyarakat menyelenggarakan acara tasyakuran, dengan mendatangkan beberapa tokoh masyarakat dan agama, untuk turut berdoa serta bersyukur atas hasil penen yang melimpah, dan dalam hal ini mereka menyebutnya along-polong hingga beberapa hari berselang, didatangkanlah jenis kesenian alalabang.
Konsep panggungnya menggunakan layar topeng dalang diiringi musik saronen, siter, saron, gender, dan seperangkat gamelan. Salenthem, gendang, siak (kecrek). Jenis Gending: kennong tello’, sarama’an, giroan (gending kasar), dan kejungan. Sementara tokoh topeng yang ditampilkan Anoman, pasukan anoman, Indrajit dan pasukan Indrajit, serta Trijata. Nayaga dan para pemain termasuk dalang dan apneges tidak langsung berada di panggung. Saat musik gamelan dan saronen mulai dibunyikan rombongan musik diiringi dengan bacaan tembang, para pemain berjalan menuju ke arena pementasan.


8)      Tembang Macapat
Tembang macapat adalah tembang (nyanyian) yang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan) di surau-surau sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa.
Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan manifestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Contoh tembang macapat:

Mara kacong ajar onggu, kapenterran mara sare,
Ajari eimo agama, eimo kadunnya ‘an pole,
Sal a settongja pabidda, ajari bi onggu ate.
Nyare eimo patar onggu,
Sala settongjapaceccer,
Eimo kadunnyaan reya,
Menangka sangona odhi
Dineng eimo agama, menangka sangona mate.
Paccowan kenga ‘e kacong, sombajangja ‘la ‘el/a ‘e,
Sa ‘are samalem coma,
Salat wajib lema kale,
Badha pole salat sonnat, rawatib ban salat lail (anggoyudo, 1983)


C. Instrumen
1)        Tok-tok Ta’al
Tok-tok ta’al merupakan jenis alat musik perkusi tradisional Madura. Alat musik ini terbuat dari batok pelindung buah siwalan yang dikeringkan, dan pada ujungnya dibuat lubang berbentuk lonjong. Kemudian diberi warna atau dicat dengan warna-warna yang menarik.  Alat musik ini disebut tok-tok ta’al karena mengeluarkan suara “tok.. tok.. tok..” saat dipukul dengan stik bambu. Sedangkan ta’al berarti buah siwalan dalam bahasa Madura. Maka alat musik ini disebut Tok-tok Ta’al.


toktok.png
 







2)        Saronen


Saronen adalah alat musik tiup berupa terompet yang berbentuk kerucut. Saronen terbuat dari akar kayu jati pilihan, tujuannya agar didapatkan hasil yang halus dan bagus. Saronen terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dikaitkan dengan gelang kecil yang terbuat dari kuningan (konengan). Bagian atas terbuat dari baja tahan karat (pesse pote), ujungnya (rakara) terbuat dari kayu siwalan dan penjepit lidah gandanya (pepet) dari sepat atau dari daun pohon siwalan (tarebung). Pada pangkal di tambah sebuah sayap yang terbuat dari tempurung kelapa (petok) yang tampak sepeti kumis pada pemain yang sedang meniupnya.


Saronen memiliki 9 lubang yang berjajar dari atas ke bawah yang mempunyai makna filosofi bahwa manusia berdasarkan fitrahnya memiliki 9 lubang di setiap anggota tubuhnya, yaitu mata, hidung, kuping, mulut, dan alat vital. Sembilan lubang tersebut juga memiliki makna kalimat Bismillahirrahmanirrahim. Bila diucapkan, kalimat Bismillahirrahmanirrahim memiliki 9 suku kata. Hal ini menyimbolkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak pernah lepas dari bacaan Basmalah ketika hendak melakukan sesuatu. Saronen berukuran sekitar 40 cm.
sronen5.jpg
3)        Tong-tong (kentongan)
          Tong-tong (kentongan) merupakan alat musik pukul yang terbuat dari kayu atau bambu dengan lubang kecil memanjang di bagian sampingnya.

 







4)        Ghung
Ghung ada dua macam, yaitu :
Ghung raje (tabbhuwen raje), berbentuk bulat besar , memiliki makna “seorang Bapak”, yang berarti seorang bapak senantiasa memberikan arahan dan nasehat kepada keluarganya.
Ghung kene’ (tabbhuwen kene’), memiliki makna “seorang Ibu”, yang berarti seorang ibu selalu mengiyakan kata-kata Bapak (suami).
 










5)        Gendang
          Gendang dianalogikan sebagai “orang mati”, karena bentuknya yang tertutup di atas dan di bawah dan besar di tengah. Makna yang terkandung dalam gendhang ini adalah bahwa dalam keadaan apapun manusia memiliki akhir hayat.
 





6)        Kercah


“Mekker Ma’leh Peccah” , berupa simbal kecil yang dimainkan dengan kedua tangan yang saling dipukul. Alat musik ini memiliki makna bahwa manusia hendaknya selalu berpikir sebelum melakukan sesuatu agar berhasil dengan baik. Diiringi dengan doa memohon kepada Yang Maha Kuasa agar mendapat jalan keluar yang terbaik terhadap masalah yang sedang dihadapi.

7)        Gamelan
Di Madura memang mengenal pula gamelan. Perangkat instrumen feminin (tabuhan halus) untuk musik kamar, seperti: gender, gambang, siter dan suling (rebab tidak dipakai, perannya diganti gambang). Ada pula perangkat instrumen maskulin (tabuhan keras) yang berjumlah besar, seperti kendang, gong, kempul, kenong, bonang, simbal kecer. Transformasi yang berkembang di Sumenep bahwa penggunaan jenis bilah (demung) ditiadakan, hanya saron yang dipertahankan dan lebih banyak dimainkan secara variatif. Instrumen perangkat besar (termasuk instrument alusan) lebih banyak dipakai dalam musik kleningan (Jawa: klenengan) pada kesenian wayang topeng dan tayuban. Instrumen perangkat kecil (alusan) banyak digunakan dalam mengiringi tembang mamaca.
Peristilahan musik yang berkembang di Sumenep juga merupakan bagian dari transformasi yang dimaksud hampir berorientasi pada konsepsi musik Jawa. Contohnya, sistem nada slendro-pelog, penulisan notasi Jawa kepatihan, serta filosofi nama masing-masing nada (meskipun namanya berbeda), seperti:
Petthet
raja
tenggu’
lema’
bharang
petthet kene’
1
2
3
5
6
1
Meskipun para niyaga gamelan Sumenep menilai kualitas gamelan Jawa adalah yang terbaik, tetapi dianggap tidak tahan terhadap variasi suhu kelembaman udara malam alias peka terhadap suhu. Oleh karena itu, mereka lebih memilih gamelan berbahan logam campuran yang lebih stabil stemnya terhadap suhu. Maklum, umumnya mereka pentas secara outdoor sepanjang malam dan berangin.
8)        Gambus
Alat musik petik seperti mandolin yang berasal dari Timur Tengah yaitu dari budaya Arab yang terbuat dari kayu dadap. Paling sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar. Gambus dimainkan sambil diiringi gendang.sebuah orkes memakai alat musik utama berupa gambus dinamakan orkes gambus atau disebut gambus saja.
9)        Tambur
Sebuah tambur kulit berbadan datar yang kemungkinan besar datangnya dari masyarakat Arab, atau rebana rebanna dalam bahasa Madura.
 









D. Manfaat dan Tujuan

  1. Tong-tong
  • Untuk membangunkan orang yang sedang tidur pada malam hari untuk makan sahur.
  • Untuk memberi peringatan atau isyarat saat ada kejadian-kejadian penting, misalnya saat ada pencurian akan dimulainya kegiatan-kegiatan desa dan lain-lain.
  • Sebagai pertunjukan kesenian tradisional untuk dilombakan.

  1. Saronen
  • Untuk mengiringi lomba sapi sono’ atau lotrengan (lomba kecantikan sapi).
  • Untuk mengiringi perlombaan karapan sapi.
  • Untuk mengiri acara pernikahan saat pasangan menaiki kuda dan berarak mengitari perkarangan rumah atau jalan.
  • Untuk hiburan pada saat acara khitanan.

  1. Ghul-ghul
  • Untuk mengiringi laju terbang burung merpati.

  1. Tembang macapat
  • Sebagai tembang (nyanyian) yang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan) di surau-surau sebelum dilaksanakan shalat wajib.

E. Kesimpulan

Alat musik tradisional Indonesia dari berbagai daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Begitu pula jenis alat musik dari tradisional daerah Madura. Di Madura terdapat berbagai macam alat musik yang cara memainkannya dengan cara ditabuh atau dipukul, ditiup, dan dipetik. Contoh alat musik instrumen yang berasal dari Madura antara lain tok-ok ta’al, saronen, tong-tong (kentongan), gendang, kercah, gamelan, gambus, dan terbhang. Biasanya alat musik tersebut tidak digunakan secara sendiri-sendiri namun digabung menjadi alat musik intrumen dan membentuk kelompok-kelompok kesenian. Sedangkan jenis kesenian yang dimiliki oleh Madura adalah saronen, ul daul dug dug, samroh atau qasidah, gambus, alalabang, dan tembang macapat. Kebanyakan alat musik dan kesenian dari madura terpengaruh dari budaya luar antara lain arab, timur tengah, dan jawa. Biasanya alat musik dan kesenian di Madura dipakai untuk hiburan dalam acara-acara pernikahan, khitanan, keagamaan, perayaan hari jadi kota, HUT RI, dan perayaan adat lainnya. Hingga saat eksistensi kesenian di Madura masih berjalan stabil, tidak hilang dimakan zaman meskipun masyarakatnya sudah mendapat pengaruh campuran dari budaya luar. Hal ini dibuktikan dengan masih diadakannya acara adat seperti sapi sono’ atau lotrengan, perlombaan karapan sapi, dan terbang laju merpati, yang dalam acara adat tersebut di dalamnya masih melibatkan alat musik khas Madura sendiri.


Daftar Pustaka



http://sejarah.kompasiana.com/2013/03/28/saronen-madura-540946.html

PPL 1 (C2) UST









Template by:

Free Blog Templates