A. Sejarah
Saronen
merupakan alat musik yang berasal dari Timur Tengah. Di daerah asalnya dikenal
dengan berbagai nama, seperti surnai, sirnai, sarune, dan shahnai. Saronen juga dianggap sebagai kesenian yang berasal dari
desa Sendang, kecamatan Pragaan. Saronen berasal dari kata Senninan, (hari
Senin). Kala itu, kyai Khatib Sendang (cicit Sunan Kudus), menciptakan orkes
ini sebagai media dakwah untuk penyebaran agama Islam. Setiap hari pasaran yang
jatuh pada hari Senin, Kyai Khatib menggunakannya dalam upaya menarik massa.
Pertama kali yang dilakukan oleh Kyai yang inovatif ini, acara diawali dengan
munculnya dua badut. Kedua badut ini, menari dan menyanyi serta melawak. Adapun
materi lawakan banyak berisi sindiran dan kritikan tentang situasi dan kondisi
serta kebijakan pemerintahan pada masa itu. Untuk meramaikan dan menambah
semarak adegan-adegan yang dibawakan kedua badut tersebut, maka acara tersebut
diselingi musik yang mampu membangun suasana menjadi riang gembira. Setelah massa terkumpul, barulah kyai Khatib Sendang
memulai dakwah. Sehingga pada waktu itu banyak sekali yang tertarik, kemudian
menyatakan diri untuk mengikuti ajaran agama Islam. Tentu saja, kyai Khatib
dalam menciptakan instrumen musik Saronen menyesuaikan dengan karakter
masyarakat Madura. Suku Madura merupakan sosok yang terkenal mempunyai watak
keras, polos, terbuka dan hangat. Sehingga, jenis musik riang dan ber-irama
mars menjadi pilihan yang paling pas. Dan dalam perkembangannya, musik Saronen
menjadi musik yang sangat digemari dan merakyat serta menjadi trade mark musik
Madura.
Tok-tok dimainkan anak-anak untuk membangunkan warga untuk makan
sahur. Mereka menabuh tok-tok sambil bernyanyi lagu-lagu Madura berkeliling
kampung.
Gamelan Madura diadopsi dari Gamelan Jawa, dan merupakan karya ciptaan
bangsawan keraton yang memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsawan Jawa.
Hubungan keraton Sumenep (dan juga keraton Bangkalan) dengan keraton Solo
(terutama jaman Mataram) sangat memungkinkan masuknya jenis kesenian seperti:
gamelan, tembang macapatan, wayang topeng, bahkan hingga tayuban. Namun
ketika keraton “kosong” (kaum bangsawan menyingkir ke desa-desa akibat politik
islamisasi yang mengakibatkan runtuhnya pengaruh bangsawan di mata rakyat),
maka kesenian itu justru lebih berkembang di desa-desa meskipun telah mengalami
berbagai transformasi.
Samroh atau qasidahan diperkirakan masuk Madura pada tahun 1950-an.
Ul daul dug-dug awalnya berasal dari
musik patrol yang biasa dimainkan untuk membangunkan orang sahur pada bulan puasa.
B. Bentuk Kesenian
1)
Saronen
Musik instrumentalia Saronen terdiri dari 9 alat musik dengan
nilai filosofi Islam yang sangat kental. Karena ke-sembilan alat musik tersebut
adalah pengejawantahan ayat pendek yang menjadi pembuka Al Qur’anul Karim,
yaitu Bismillahhirrohmanirrohim. Adapun ke-9 alat musik tersebut terdiri dari ;
1 saronen, 1 gong besar, 1 kempul, 1 kenong besar, 1 kenong tengahan, 1 kenong
kecil, 1 korca, 1 gendang besar dan 1 gendang dik gudik (kecil).
Kesembilan alat musik tersebut menjadi perpaduan yang harmonis,
sedangkan yang menjadi ruh dari orkes ini adalah alat musik Saronen yang
berbentuk kerucut.
Dalam perkembangannya, alat musik yang terdiri dari 9 unsur
tersebut mengalami penambahan sehingga menjadi 12 alat musik. Yaitu dengan
penambahan 1 alat musik saronen serta 1 alat musik kempul. Begitu pula dengan
jumlah penabuh/pemusik. Orkes Saronen yang tetap memakai komposisi (versi)
lama, menggunakan alat musik sebanyak 9 dengan penabuh sebanyak 9 personel.
Masing-masing membawa satu alat musik, sedangkan gong dan kempul dipikul oleh
dua penabuh, yang secara bergantian memukul alat musik tersebut. Sedangkan yang
menggunakan komposisi (versi) baru alat musik berjumlah 12, serta
penabuh/pemusik juga berjumlah 12 orang.
Irama yang dihasilkan dari instrumen musik Saronen dipakai sebagai
pengiring kegiatan Kerapan Sapi, atraksi Sapi Sono’, berbagai upacara ritual di
makan keramat, acara pesta perkawinan ataupun dalam event-event kesenian.
Selain itu orkes musik Saronen dapat berdiri sendiri dengan menyajikan berbagai
bentuk tontonan yang menarik dan atraktif. Yaitu dengan cara memodifikasi
berbagai unsur gerak, baik seni tari, seni hadrah maupun seni bela diri silat
dalam kemasan gerak tari sesuai irama musik yang dimainkan. Instrumen musik ini
sangat kompleks dalam penggunaannya. Katakanlah musik serba guna yang mampu
menghadirkan berbagai nuansa sesuai dengan kepentingan. Begitu pula dengan
lagu-lagu yang dibawakan, musik. Saronen mampu mengiringi lagu-lagu dari
berbagai aliran musik, baik itu keroncong, dangdut, pop, rock and rool maupun
lagu-lagu daerah lainnya. Lagu-lagu keroncong yang ber-irama mendayu-dayu
misalnya, mampu digubah dalam irama mars yang dinamis.
Dalam setiap atraksi, orkes Saronen ini mampu membangun serta
menciptakan suasana yang hangat dan gembira. Ketika berjalan mengikuti
iring-iringan pasangan sapi, baik Kerapan Sapi atau Sapi Sono’, upacara-upacara
ritual, mengiringi atraksi kuda Kenca’ ataupun arak-arakan para
pemusik ini berjalan dengan langkah-langkah pendek sambil berlenggak-lenggok
mengikuti irama, gerakan-gerakan itu disesuaikan dengan irama lagu yang
dibawakan.
Alat musik Saronen biasanya dipakai sebagai pembuka komposisi
dengan permainan solo. Suaranya yang sedikit sengau dan demikian keras,
meloncat-loncat, melengking-lengking dan meliuk-liuk dalam irama yang
menghentak. Baru setelah itu diikuti oleh pukulan alat musik lainnya, pukulan
gendang, kenong, ketukan kerca dan simbal. Perpaduan
alat-alat musik tersebut menghasilkan keselarasan irama pada seluruh orkes.
Setiap komposisi musik yang dimainkan, di awali dalam
tempo lamban yang berubah menjadi tempo medium, lalu semakin cepat, atau sebaliknya,
permainan diawali langsung dalam tempo medium langsung berubah menjadi cepat
dan berakhir dengan tempo yang semakin cepat untuk seluruh orkes. Permainan
yang sangat variatif dan penuh improvisasi dari para pemain, serta teriakan
yang dilontarkan para pemain menambah kegairahan pada irama yang sudah
melengking dan meloncat-loncat. Dalam setiap permainan, setiap komposisi lagu
berakhir seketika, dalam arti semua instrumen berhenti pada saat yang sama.
Seperti halnya instrumen musik lain, Saronen dapat dimainkan
sesuai dengan jenis irama yang diinginkan. Walaupun sangat dominan memainkan
jenis irama mars, dalam bahasa Madura irama sarka’, Saronen ini mampu
menghasilkan jenis irama lainnya, yaitu irama lorongan (irama sedang).
Jenis irama ini terdiri dari dua, yaitu irama sedang “lorongan jhalan”
dan irama slow ‘lorongan toju’. Masing-masing irama tersebut dimainkan
di berbagai kegiatan kesenian dengan acara serta suasana yang berbeda.
Untuk irama sarka’, biasanya dimainkan dalam suasana
riang dan permainan musik cepat dan dinamis. Tujuannya adalah memberikan
semangat dan suasana hangat. Adapun semua lagu dapat digubah dalam irama sarka’.
Sementara itu, untuk jenis irama lorongan, baik lorongan jhalan
(sedang) atau lorongan toju’ (slow), lagu-lagu yang dimainkan biasanya
berasal dari berbagai lagu gending karawitan.
Ketika mengiringi kerapan sapi menuju lapangan untuk berlaga,
irama sarka’ ini dimainkan untuk memberikan dorongan semangat, baik
kepada sapi atau pun pemilik serta para pengiringnya. Begitu pula ketika orkes
Saronen mengiringi sepasang pengantin, irama ini dimainkan sampai sepasang
pengantin itu mencapai pintu gerbang. Musik berirama sarka’ ini, mampu
menciptakan suasana hangat dan kegembiraan bagi penonton.
Sedangkan irama lorongan jhalan (irama sedang), biasanya
dimainkan pada saat dalam perjalanan menuju lokasi. Baik ketika sedang
mengiringi sapi kerapan ataupun atraksi sapi sono’. Selain itu, irama ini
dimainkan ketika mengiringi atraksi kuda kenca’ atau pun di berbagai acara
ritual yang berkaitan dengan prosesi kehidupan manusia. Adapun lagu-lagu yang
dimainkan berasal dari lagu-lagu gending karawitan, seperti gending Nong-Nong,
Manyar Sebuh, Lan-jalan ataupun Bronto
Sewu.
Irama lorongan toju’, biasanya memainkan lagu-lagu
gending yang berirama lembut (slow). Jenis irama ini dipakai untuk
mengungkapkan luapan perasaan yang melankonis, rindu dendam, suasana sedih
ataupun perasaan bahagia. Irama lorongan toju’ biasa dimainkan ketika
mengiringi pengantin keluar dari pintu gerbang menuju pintu pelaminan. Adapun
gending-gending yang dimainkan adalah alunan gending Angling, Rarari,
Puspawarna, Kinanti, Gung-Gung dan lainnya.
Dalam setiap penampilan agar semakin memikat, biasanya para pemain
menggunakan seragam yang sama. Untuk acara-acara ritual, para pemain biasanya
memakai odheng Madura dan bersarung, ada juga yang mengenakan celana
dan baju hitam longgar khas petani Madura serta berkaos dengan motif
garis-garis panjang berwarna merah putih. Namun di kalangan kaum muda biasanya
mereka tampil lebih modern, dengan mengenakan pakaian warna-warna terang dan
mencolok serta memakai rompi yang dihiasi oleh rumbai-rumbai benang emas.
Penampilan mereka semakin keren dengan memakai kaca mata hitam serta topi
lakan.
Khusus musik Saronen, kaum muda (yang tinggal di pedesaan) tidak
merasa malu ketika menggeluti musik ini. Karena jenis irama yang dimainkan
dapat disesuaikan dengan perkembangan musik yang sedang ngetren. Disamping itu
musik etnik ini mampu dimainkan, dimodifikasi dan diimprovisasi ke berbagai
aliran musik. Sehingga irama yang dihasilkan memenuhi selera masyarakat baik
yang menyukai jenis musik dangdut, pop, keroncong, karawitan/gendingan/tembang
ataupun aliran musik kontemporer.
2)
Ul
Daul Dug Dug
Kesenian
Ul daul dug dug berkembang di daerah Sampang. Ul daul dug dug merupakan
perpaduan dari saronen , gendang, kesrek (kercah) , dan dug-dug (berbentuk
tong). Seperangkat alat tersebut diletakkan dan diangkut dengan menggunakan
alat pengangkut (gerobak). Gerobak pengangkut dibentuk dan dihias dengan diberi
ornamen (hiasan) yang menarik dan dibentuk sedemikian rupa, ada yang berbentuk
kereta kencana, atau ornamen Buta Kala. Dalam perkembangannya, alat musik
tersebut dipadukan dengan alat musik modern namun tetap menjaga kekhasannya.
3)
Ghul-ghul
Nama
Ghul-ghul berasal dari kata gulonggulen
yang berarti benjolan yang ada di punggung (punuk) sapi. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa ghul-ghul diambil dari nama alat musik yang berbentuk gendang.
Gendang yang dipakai dalam kesenian ini memiliki ciri khas berbentuk
menggelembung besar di bagian tengah. Gendang besar terbuat dari kayu kelapa
yang pada bagian tengahnya diberi kawat berbentuk spiral. Sedangkan untuk
gendang sedang terbuat dari kayu nangka serta alat pukul berbentuk perahu kecil
yang dinamakan tul-tul.
Kesenian
musik Ghul-ghul dimainkan oleh minimal 10 pemain. Dengan tambahan satu peniup
saronen, pemukul gagambhang (gamelan), peniup seruling, kerca, serta peking.
Jadi, komposisi alat yang dimainkan dalam satu grup terdiri dari 3 tul-tul
(gendang sedang). Satu gendang besar, gendang kecil, gong, seruling, kerca,
saronen, gagambhang (gamelan), serta alat peking. Iringan musik ini dipakai
sebagai sarana hiburan bagi organisasi atau perkumpulan “dhara gettak.”
4)
Samroh atau Qasidah
Samroh atau Qasidah biasanya muncul dalam event-event perayaan maulid,
perayaan hari nasional, maupun acara arisan ibu-ibu. Orkes ini biasanya
dimainkan oleh kaum perempuan. Seperti halnya gambus, orkes ini masih kental
dengan nuansa barat hal ini ditandai dengan masih melibatkannya penggunaan
instrumen barat seperti gitar, bas elektrik, keyboard, drum set, biola, dan
lain sebagainya. Meskipun hampir mirip dengan gambus, namun samroh atau qasidah
sedikit berbeda, bedanya eksistensi samroh atau qasidah tidak eksklusif, sebab
indikasinya banyak kelompok samroh yang lahir di desa-desa dan umumnya
dimainkan dan diorganisasikan oleh kaum perempuan khususnya ibu-ibu.
5) Terbang Hadrah
Musik paling populer di
kalangan masyarakat “oreng alem” (istilah untuk
mengidentifikasi orang yang taat beragama adalah terbang hadrah. Oreng
alem yang dominan di Madura seakan memberi dukungan kuat terhadap
eksistensi jenis musik ini. Awalnya, terbang hadrah menjadi simbol musik
pesantren, kemudian berkembang menjadi musik milik komunitas yang jauh lebih
luas. Bermunculan ratusan kelompok-kelompok hadrah yang selalu memenuhi
event-event perayaan keagamaan, arisan desa maupun komunitas kecil sekalipun
hingga event yang disponsori pemerintah (festival hadrah). Tingkat kompetisi
yang sangat tinggi ini memang cenderung terjadi pengembangan yang luar biasa.
Bahkan aspeknya hingga urusan panggung yang disetting seperti bangunan masjid,
disertai pemasangan lampu-lampu beraneka warna dan pelepasan lampion. Performa
pementasan dibuat sedemikian megah dan gemerlap.
Hal yang biasa terjadi
di banyak tempat, jenis musik ini sering ditarikan dalam atmosfir
koreografi ruddhat ( baca: rodat). Dasar musikalnya tersusun
dari kombinasi ritem lima instrument terbang yang sesungguhnya hanya terbagi
dalam tiga seksi polar ritem, antara lain:
- Korbhian, artinya: induk. Pola korbhian menjadi dasar pembentukan “kalimat ritme” yang biasanya dimainkan oleh terbang ukuran besar (dimainkan dengan dua pemain terbang).
- Budu’an, artinya: anak. Pola ritemnya merupakan sisipan sederhana dari pola utamanya. Dimainkan oleh dua pemain terbang dengan warna suara lebih ringan.
- Peca’an, artinya pemisah. Pola ritem inilah yang mampu menghidupkan kesatuan interlocking musik ini. Biasanya, tingkat kecermelangan variasi ritem dapat disoroti dari lini ini.
Musik terbang hadrah
semakin bergairah ketika mereka mulai memasukkan instrumen jidor (bedug atau
bass drum) yang sangat memprovokasi kesan ritem secara keseluruhan. Apalagi
dalam sebuah pertunjukan, jidor tidak hanya ditabuh biasa, melainkan ditabuh
dengan cara digendong sambil melakukan atraksi yang memukau menyatu dengan
kelompok penari ruddhat.
Setiap pementasan,
mereka tetap memegang model ritme standart, yaitu: mateno’, jus, yahum,
pinjang, jus pinjang (dua yang terakhir jarang dilakukan). Pola-pola ritem
tersebut sama sekali tidak mempengaruhi nyanyian yang dibawakan para nasyid.
Tidak seperti halnya musik gambus, kesenian hadrah ini tidak berhubungan lagi
dengan masyarakat Arab di Sumenep, bahkan citra musiknya sekalipun.
6)
Gambus
Gambus merupakan orkes yang berasal dari Arab. Orkestra musik maupun
instrumennya tidak banyak berubah dari aslinya. Gambus cukup terpelihara dalam
komunitas Arab yang mana komunitas ini masih relatif banyak di Sumenep.
Meskipun masyarakat Arab yang tinggal di Sumenep hanya terbatas, namun secara
signifikan genetik musik ini sangat mempengaruhi terhadap kebudayaan dan
kebiasaan masyarakat Sumenep. Hal ini dilihat dari komunitas pesantren, orang
alim yang fanatik, dan islamisasi yang ditanamkan sedemikian kuat. Dalam pemakaian
Bahasa Arab dalam musik gambus seakan menguasai citra islami itu sendiri, maka
wajar jika musik gambus termasuk dalam musik religius sehingga memiliki nilai
prestisius tersendiri. Eksistensi musik gambus terhitung stabil dan
terpelihara. Gambus termasuk kelompok orkes eksklusif, tidak hanya pada
persoalan alat, musikalitas, maupun bahasa, namun juga ditandai dengan jarang
ditemukannya kelompok gambus di pedesaan. Kebanyakan orang-orang desa maupun kota
sering mengundang kelompok gambus dari Kota Sumenep untuk acara rapat desa,
arisan, dan acara-acara mingguan komunitas kecil yang memang khusus untuk kaum
lelaki.
7)
Alalabang
Alalabang adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisi di Kabupaten Sumenep yang memadukan antara seni macapat, wayang, dan topeng dhalang. Alalabang (bahasa Madura) berasal dari kata labang yang artinya pintu. Alalabang maksudnya datang dari pintu ke
pintu. Jenis kesenian yang menyajikan sastra lisan dari satu rumah ke rumah
yang lain. Bentuk keseniannya bermacam-macam ada yang menyanyi tanpa
iring-iringan musik, ada juga melantunkan syair-syair agama dengan pukulan 3
buah gendhang rebana, dan ada berupa rombongan anak-anak kecil, 2 anak di depan
berpakaian pengantin sedang yang lainnya bertindak sebagai penyanyi cilik.
Masing-masing wilayah mempunyai bentuk alalabang yang berbeda. Lebih-lebih
rombongan alalabang, akan banyak menyedot penonton, ketika para rombongan itu
membawakan sebuah kesenian topeng dhalang.
Pada musim
panen kesenian ini akan ramai mendapat undangan untuk unjuk kebolehannya,
karena saat itu masyarakat pedesaan bersuka ria atas nikmat yang dikarunia
Tuhan. Biasanya jauh sebelum kesenian alalabang ini didatangkan, masyarakat
menyelenggarakan acara tasyakuran, dengan mendatangkan beberapa tokoh
masyarakat dan agama, untuk turut berdoa serta bersyukur atas hasil penen yang
melimpah, dan dalam hal ini mereka menyebutnya along-polong hingga beberapa
hari berselang, didatangkanlah jenis kesenian alalabang.
Konsep
panggungnya menggunakan layar topeng dalang diiringi musik saronen, siter,
saron, gender, dan seperangkat gamelan. Salenthem, gendang, siak (kecrek).
Jenis Gending: kennong tello’, sarama’an, giroan (gending kasar), dan kejungan.
Sementara tokoh topeng yang ditampilkan Anoman, pasukan anoman, Indrajit dan
pasukan Indrajit, serta Trijata. Nayaga dan para pemain termasuk dalang dan
apneges tidak langsung berada di panggung. Saat musik gamelan dan saronen mulai
dibunyikan rombongan musik diiringi dengan bacaan tembang, para pemain berjalan
menuju ke arena pementasan.
8)
Tembang Macapat
Tembang macapat adalah
tembang (nyanyian) yang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT
(pujian keagamaan) di surau-surau sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang
tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa.
Selain berisi
puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk
mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral
dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia
berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk
hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat
merupakan manifestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan
manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Contoh tembang macapat:
Mara
kacong ajar onggu, kapenterran mara sare,
Ajari eimo agama, eimo kadunnya ‘an pole,
Sal a settongja pabidda, ajari bi onggu ate.
Nyare eimo patar onggu,
Sala settongjapaceccer,
Eimo kadunnyaan reya,
Menangka sangona odhi
Dineng eimo agama, menangka sangona mate.
Paccowan kenga ‘e kacong, sombajangja ‘la ‘el/a ‘e,
Sa ‘are samalem coma,
Salat wajib lema kale,
Badha pole salat sonnat, rawatib ban salat lail (anggoyudo, 1983)
Ajari eimo agama, eimo kadunnya ‘an pole,
Sal a settongja pabidda, ajari bi onggu ate.
Nyare eimo patar onggu,
Sala settongjapaceccer,
Eimo kadunnyaan reya,
Menangka sangona odhi
Dineng eimo agama, menangka sangona mate.
Paccowan kenga ‘e kacong, sombajangja ‘la ‘el/a ‘e,
Sa ‘are samalem coma,
Salat wajib lema kale,
Badha pole salat sonnat, rawatib ban salat lail (anggoyudo, 1983)
C. Instrumen
1)
Tok-tok
Ta’al
Tok-tok
ta’al merupakan jenis alat musik perkusi tradisional Madura. Alat musik ini
terbuat dari batok pelindung buah siwalan yang dikeringkan, dan pada ujungnya
dibuat lubang berbentuk lonjong. Kemudian diberi warna atau dicat dengan
warna-warna yang menarik. Alat musik ini
disebut tok-tok ta’al karena mengeluarkan suara “tok.. tok.. tok..” saat
dipukul dengan stik bambu. Sedangkan ta’al berarti buah siwalan dalam bahasa
Madura. Maka alat musik ini disebut Tok-tok Ta’al.
![]() |
2)
Saronen
Saronen adalah alat musik tiup berupa terompet yang berbentuk kerucut. Saronen terbuat dari akar kayu jati pilihan, tujuannya agar didapatkan hasil yang halus dan bagus. Saronen terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dikaitkan dengan gelang kecil yang terbuat dari kuningan (konengan). Bagian atas terbuat dari baja tahan karat (pesse pote), ujungnya (rakara) terbuat dari kayu siwalan dan penjepit lidah gandanya (pepet) dari sepat atau dari daun pohon siwalan (tarebung). Pada pangkal di tambah sebuah sayap yang terbuat dari tempurung kelapa (petok) yang tampak sepeti kumis pada pemain yang sedang meniupnya.
Saronen memiliki 9 lubang yang berjajar dari atas ke bawah yang mempunyai makna filosofi bahwa manusia berdasarkan fitrahnya memiliki 9 lubang di setiap anggota tubuhnya, yaitu mata, hidung, kuping, mulut, dan alat vital. Sembilan lubang tersebut juga memiliki makna kalimat Bismillahirrahmanirrahim. Bila diucapkan, kalimat Bismillahirrahmanirrahim memiliki 9 suku kata. Hal ini menyimbolkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak pernah lepas dari bacaan Basmalah ketika hendak melakukan sesuatu. Saronen berukuran sekitar 40 cm.


3)
Tong-tong (kentongan)
Tong-tong (kentongan) merupakan alat musik pukul yang terbuat dari kayu atau bambu dengan lubang kecil memanjang di bagian sampingnya.
![]() |
![]() |
4) Ghung
Ghung raje (tabbhuwen raje), berbentuk bulat besar , memiliki makna “seorang Bapak”, yang berarti seorang bapak senantiasa memberikan arahan dan nasehat kepada keluarganya.
Ghung kene’ (tabbhuwen kene’), memiliki makna “seorang Ibu”, yang berarti seorang ibu selalu mengiyakan kata-kata Bapak (suami).
![]() |
5) Gendang
Gendang dianalogikan sebagai “orang mati”, karena bentuknya yang tertutup di atas dan di bawah dan besar di tengah. Makna yang terkandung dalam gendhang ini adalah bahwa dalam keadaan apapun manusia memiliki akhir hayat.

6)
Kercah

“Mekker Ma’leh Peccah” , berupa simbal kecil yang dimainkan dengan kedua tangan yang saling dipukul. Alat musik ini memiliki makna bahwa manusia hendaknya selalu berpikir sebelum melakukan sesuatu agar berhasil dengan baik. Diiringi dengan doa memohon kepada Yang Maha Kuasa agar mendapat jalan keluar yang terbaik terhadap masalah yang sedang dihadapi.
7)
Gamelan
Di Madura memang mengenal pula gamelan. Perangkat instrumen feminin
(tabuhan halus) untuk musik kamar, seperti: gender, gambang, siter dan suling
(rebab tidak dipakai, perannya diganti gambang). Ada pula perangkat instrumen
maskulin (tabuhan keras) yang berjumlah besar, seperti kendang, gong, kempul, kenong,
bonang, simbal kecer. Transformasi yang berkembang di Sumenep bahwa penggunaan
jenis bilah (demung) ditiadakan, hanya saron yang dipertahankan dan lebih
banyak dimainkan secara variatif. Instrumen perangkat besar (termasuk
instrument alusan) lebih banyak dipakai dalam musik kleningan (Jawa: klenengan)
pada kesenian wayang topeng dan tayuban. Instrumen perangkat kecil (alusan)
banyak digunakan dalam mengiringi tembang mamaca.
Peristilahan musik yang berkembang di Sumenep juga merupakan bagian dari
transformasi yang dimaksud hampir berorientasi pada konsepsi musik Jawa.
Contohnya, sistem nada slendro-pelog, penulisan notasi Jawa kepatihan, serta
filosofi nama masing-masing nada (meskipun namanya berbeda), seperti:
Petthet
|
raja
|
tenggu’
|
lema’
|
bharang
|
petthet kene’
|
1
|
2
|
3
|
5
|
6
|
1
|
Meskipun para niyaga gamelan Sumenep menilai kualitas gamelan Jawa adalah
yang terbaik, tetapi dianggap tidak tahan terhadap variasi suhu kelembaman
udara malam alias peka terhadap suhu. Oleh karena itu, mereka lebih memilih
gamelan berbahan logam campuran yang lebih stabil stemnya terhadap suhu.
Maklum, umumnya mereka pentas secara outdoor sepanjang malam
dan berangin.
8)
Gambus
Alat musik petik seperti mandolin yang berasal dari Timur Tengah yaitu dari
budaya Arab yang terbuat dari kayu dadap. Paling sedikit gambus dipasangi 3
senar sampai paling banyak 12 senar. Gambus dimainkan sambil diiringi
gendang.sebuah orkes memakai alat musik utama berupa gambus dinamakan orkes
gambus atau disebut gambus saja.
9)
Tambur
Sebuah tambur kulit berbadan datar yang kemungkinan besar datangnya dari
masyarakat Arab, atau rebana rebanna dalam bahasa Madura.
![]() |
D. Manfaat dan Tujuan
- Tong-tong
- Untuk membangunkan orang yang sedang tidur pada malam hari untuk makan sahur.
- Untuk memberi peringatan atau isyarat saat ada kejadian-kejadian penting, misalnya saat ada pencurian akan dimulainya kegiatan-kegiatan desa dan lain-lain.
- Sebagai pertunjukan kesenian tradisional untuk dilombakan.
- Saronen
- Untuk mengiringi lomba sapi sono’ atau lotrengan (lomba kecantikan sapi).
- Untuk mengiringi perlombaan karapan sapi.
- Untuk mengiri acara pernikahan saat pasangan menaiki kuda dan berarak mengitari perkarangan rumah atau jalan.
- Untuk hiburan pada saat acara khitanan.
- Ghul-ghul
- Untuk mengiringi laju terbang burung merpati.
- Tembang macapat
- Sebagai tembang (nyanyian) yang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan) di surau-surau sebelum dilaksanakan shalat wajib.
E. Kesimpulan
Alat
musik tradisional Indonesia dari berbagai daerah memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Begitu pula jenis alat musik dari tradisional daerah Madura. Di
Madura terdapat berbagai macam alat musik yang cara memainkannya dengan cara
ditabuh atau dipukul, ditiup, dan dipetik. Contoh alat musik instrumen yang
berasal dari Madura antara lain tok-ok ta’al, saronen, tong-tong (kentongan),
gendang, kercah, gamelan, gambus, dan terbhang. Biasanya alat musik tersebut
tidak digunakan secara sendiri-sendiri namun digabung menjadi alat musik
intrumen dan membentuk kelompok-kelompok kesenian. Sedangkan jenis kesenian
yang dimiliki oleh Madura adalah saronen, ul daul dug dug, samroh atau qasidah,
gambus, alalabang, dan tembang macapat. Kebanyakan alat musik dan kesenian dari
madura terpengaruh dari budaya luar antara lain arab, timur tengah, dan jawa.
Biasanya alat musik dan kesenian di Madura dipakai untuk hiburan dalam
acara-acara pernikahan, khitanan, keagamaan, perayaan hari jadi kota, HUT RI,
dan perayaan adat lainnya. Hingga saat eksistensi kesenian di Madura masih
berjalan stabil, tidak hilang dimakan zaman meskipun masyarakatnya sudah
mendapat pengaruh campuran dari budaya luar. Hal ini dibuktikan dengan masih
diadakannya acara adat seperti sapi sono’ atau lotrengan, perlombaan karapan sapi,
dan terbang laju merpati, yang dalam acara adat tersebut di dalamnya masih
melibatkan alat musik khas Madura sendiri.
Daftar Pustaka